Hallo Young Writer :)
Bagaimana, sudah menuliskah hari ini?. Memang terkadang menulis terasa mebosankan. Namun sekali lagi kita harus ingat apa tujuan awal kita menulis. Yuk simak narasi motivasi dari Siti Khumaira M Nur. Semoga dapat menambah semangat Young Writer.
"Bisa saja, apa yang paling ingin kita perjuangkan menjadi perihal yang jauh lebih dalam menyakiti. Lebih menakar luka dibanding yang biasanya. Ada yang menempatkan pilihan dengan mengikhlaskan zona nyamannya, kemudian pilihan itu akan bertubi-tubi menguji."
○ ○ ○ ○
"...mendengar kabar itu, saya yang sedang murajaah hafalan langsung berlari keluar ruangan. Menangis sejadi-jadinya sebab tidak mampu mendampingi."
"Saat MTQ ; malam itu, abah kritis di rumah sakit. Beberapa hari setelah akhirnya mampu untuk pulang (karena jarak), saya baru bisa menjenguk abah di rumah sakit. Tepat pada saat saya datang, abah telah melewati masa kritisnya dan sudah bisa diperbolehkan pulang. Ketika itu, karena saya juga memiliki amanah di tempat saya menimba ilmu, masa dispensasi ijin perkuliahan saya berakhir. Juga melihat abah yang sudah pulih, saya akhirnya kembali ke perantauan."
"Tetapi, ternyata hari itu adalah hari terakhir saya mendengar suara Abah."
ππππ
Ar-Rahman Press~Penerbit Ar-Rahman berdiri di tahun 2014, beberapa bulan setelah meninggalnya Abah. Nama 'Ar-Rahman' sendiri saya pilih sebagai nama penerbitan yang saya kelola sebab surah tersebut adalah surah yang beliau rindu mendengarkannya lagi dari saya. Hanya mengatakan itu. Lalu, mengucap maaf karena belum bisa menjenguk saya dalam waktu dekat. Beliau sedang tidak enak badan. Itu saja. Sebab terpisah jarak juga kesibukan yang lain di tempat perantauan, saya hanya bisa merapalnya dari jauh. Saya mengatakan, "Insya Allah nanti ketika saya pulang, saya akan membacakannya tepat di samping Abah. Abah akan mendengarkannya."
Beberapa hari kemudian beliau menitipkan berkas-berkas untuk persyaratan kelulusan S2 beliau pada saya. Abah dan saya satu universitas. Beberapa bulan lagi Abah akan mengenakan toga S2 nya.
Begitu seharusnya. Hanya saja Allah memiliki rencana yang lain. Saya sedang sibuk-sibuknya saat itu. Beberapa hal sangat harus saya pertanggungjawabkan. Demikian, saya tidak bisa pulang untuk menemui Abah.
Hari itu, Kamis 22 Mei 2014. Perasaan hati saya tidak karuan. Tiba-tiba ingin sekali rasanya untuk pulang ke kampung halaman. Sementara, beberapa hari mendatang masih menumpuk amanah yang harus saya selesaikan.
(Masa-masa ini ; adalah masa dimana saya menguatkan pengharapan pada seseorang yang saya percaya(i). Namun akhirnya, saya kalah)
Saya berupaya menemukan jalan di tengah keadaan yang mendesak. Menghubungi orang-orang tertentu. Tetapi hari itu, "Saya merasa manusia di bumi sepenuhnya sedang sibuk." Saya tidak akan bicara, atau mengganggu mereka.
Padahal sebelumnya, rasanya saya justru tengah bermesraan dengan banyak orang. Dikelilingi manusia yang tawanya lebar.
Kenyataannya, "Menangis bersama adalah perihal yang paling sulit untuk dilakukan."
Malamnya, selepas isya' saya langsung tidur. Dalam tidur itulah rasanya saya mendapat petunjuk tentang Abah. Pukul 22.00 WIB, saya bangun. Menyiapkan untuk keberangkatan besok. Saya memutuskan harus pulang. Melupakan semua agenda. Atau tanggung jawab.
(Saya hilang. Melupakan janji-janji. Bukan hanya satu atau dua orang: Banyak yang memilih untuk tidak lagi ada pada kehidupan saya, sejak saya memutuskan pulang hari itu. Salah satunya termasuk ini tentang apa yang telah saya bangun di dunia kepenulisan)
Sulit bagi saya menyampaikan bagaimana perasaan ketika ini.
Jum'at, 23 Mei 2014. 16.30 WIB . Saya sampai di kediaman orangtua. Rumah begitu ramai. Orang-orang berdatangan.
ππππ
Menghela napas panjang. "...kita harus bersedia menikmati puisi-puisi hidup setiap waktunya. Siap ataupun tidak."
Saya tidak bisa berbagi cerita lagi pada Abah. Beliau sudah tidak bisa melihat ataupun mendengarkan perkataan saya.
Tidak lama selepas isya', beliau benar-benar pergi.
(...)
Kurang lebih satu bulan lamanya saya berada pada keadaan paling jatuh. Semuanya berurutan hilang.
ππππ
Hatiku ketika itu ; benar-benar tidak berwajah.
Apa yang paling dipertahankan, justru berurutan meninggalkan ke rumah yang lain.
Rasanya menggigil setiap kali mengingat amanah yang tidak mampu seorang Aira jalankan. Ketika masih aktif menjadi konselor dalam kelompok-kelompok remaja yang aku bina, aku tidak pernah membayangkan dikemudian hari akan serapuh ini. Tentu, selagi aku mempunyai Penciptaku, aku akan selalu punya tempat untuk pulang. Setidaknya untuk melapangkan kembali percayaku.
Hanya saja, sejak perginya Abah~ rasanya hambar. Bukan sebab tidak menerima ketentuan-Nya, tapi disaat yang bersamaan perihal yang kupercaya(i) justru malah meninggalkanku. Aku tidak bisa menjelaskan keadaanku ketika itu, pulih yang bagaimana lagi? Di saat kehilangan, secara bersamaan apa-apa yang kuperjuangkan lebih memilih untuk menjatuhkanku. Tidak sampai disitu, berangsur beberapa tetua yang kucintai juga lebih dulu pulang. Tuhan mengambil lagi tempat berteduhku.
Aku berupaya menguatkan hati. Melaksanakan beberapa program baca tulis di daerah pinggiran. Setiap kali berangkat sendiri ke tempat mereka hingga terjatuh atau lebam berdarah sekalipun ketika pulangnya, sama sekali tidak mengurangi kecintaanku. Yang kutahu, senyum dari murid-murid yang menyambutku di perbatasan lebih mujarab mengobati rasa sakitku.
Setiap hari aku harus membagi waktu. Perihal ini sulit sekali aku jelaskan. Bahkan saat malam minggu, ketika yang lain rehat~aku justru baru pulang jam satu malam. Setelah menghabiskan waktu di pelosok. Mengajar.
Tetapi setelah semuanya memilih hilang begitu saja; Rasanya seperti dicambuk berkali-kali. Bagaimana lagi aku meletakkan kepercayaan?
π±π±π±
Beberapa bulan setelah itu, saya sadar: saya tidak boleh berada dalam keadaan terpuruk seterusnya. Saya harus bangkit."
Demikian, perihal penerbitan (Ar-Rahman PRESS~Penerbit Ar-Rahman); saya yang awalnya belum punya penerbitan sendiri, Allah perkenankan untuk ada.
"Demikian saya percaya, dibalik hilang dan pergi akan selalu ada kedatangan yang lebih indah."
ππππ
Dalam hidup, akan ada orang-orang yang memaksamu untuk terus berlari meski saat itu kakimu tengah luka parah. Pengertian bukanlah hal yang wajar lagi. Saat itulah kamu akan merasa seorang diri. Kakimu makin nyeri. Tubuhmu ditumpahi lelah yang amat sangat. Ada yang harus kamu perjuangkan. Tetapi tidak sedikit yang malah meninggalkan. Langkahmu terseok dalam keadaan yang payah. Hambar kenang; dirampas ingat.
Lalu, apa yang harus dilakukan?
"Sekuat tenaga, kita perlu bertahan. Masih bisa membuat senyum di sudut-sudut wajah. Tersenyum sajalah. Puisi kita kian manis. Besok, mungkin kita akan menyeduh puisi hari ini bersama anak-anak kita, bukan? Tawanya bisa jadi lebih lebar. Kemudian berujar, "Betapa kuatnya orangtuaku dulu." Matanya lebih mantap menatap semesta, karena dia telah mengenal rumah yang kamu diami sebelumnya. Ah, ini salah satu caraku menghibur diri. Punya banyak anak ; yang mata dan langkahnya tidak ringkih melihat bumi sampai langit (jika berbeda)."
"...seberapa kali pun jatuh, tetap pertahankan apa yang menjadi prinsip. Luka parah tidak ada apa-apanya, dibanding tubuh yang kosong~melompong, berjalan di bumi tanpa jati diri."
Apapun, jatuh? bangkit lagi.
Tidak usah takut ataupun khawatir, dengan izin-Nya semua akan mampu diselesaikan.
Semangat Menguat & semoga bermanfaat.
Ditulis oleh perempuan yang setiap harinya masih harus belajar terus untuk kembali kuat,
Siti Khumairah M. Nur
@sitikhumairahnur
Bagaimana, sudah menuliskah hari ini?. Memang terkadang menulis terasa mebosankan. Namun sekali lagi kita harus ingat apa tujuan awal kita menulis. Yuk simak narasi motivasi dari Siti Khumaira M Nur. Semoga dapat menambah semangat Young Writer.
"Bisa saja, apa yang paling ingin kita perjuangkan menjadi perihal yang jauh lebih dalam menyakiti. Lebih menakar luka dibanding yang biasanya. Ada yang menempatkan pilihan dengan mengikhlaskan zona nyamannya, kemudian pilihan itu akan bertubi-tubi menguji."
○ ○ ○ ○
"...mendengar kabar itu, saya yang sedang murajaah hafalan langsung berlari keluar ruangan. Menangis sejadi-jadinya sebab tidak mampu mendampingi."
"Saat MTQ ; malam itu, abah kritis di rumah sakit. Beberapa hari setelah akhirnya mampu untuk pulang (karena jarak), saya baru bisa menjenguk abah di rumah sakit. Tepat pada saat saya datang, abah telah melewati masa kritisnya dan sudah bisa diperbolehkan pulang. Ketika itu, karena saya juga memiliki amanah di tempat saya menimba ilmu, masa dispensasi ijin perkuliahan saya berakhir. Juga melihat abah yang sudah pulih, saya akhirnya kembali ke perantauan."
"Tetapi, ternyata hari itu adalah hari terakhir saya mendengar suara Abah."
ππππ
Ar-Rahman Press~Penerbit Ar-Rahman berdiri di tahun 2014, beberapa bulan setelah meninggalnya Abah. Nama 'Ar-Rahman' sendiri saya pilih sebagai nama penerbitan yang saya kelola sebab surah tersebut adalah surah yang beliau rindu mendengarkannya lagi dari saya. Hanya mengatakan itu. Lalu, mengucap maaf karena belum bisa menjenguk saya dalam waktu dekat. Beliau sedang tidak enak badan. Itu saja. Sebab terpisah jarak juga kesibukan yang lain di tempat perantauan, saya hanya bisa merapalnya dari jauh. Saya mengatakan, "Insya Allah nanti ketika saya pulang, saya akan membacakannya tepat di samping Abah. Abah akan mendengarkannya."
Beberapa hari kemudian beliau menitipkan berkas-berkas untuk persyaratan kelulusan S2 beliau pada saya. Abah dan saya satu universitas. Beberapa bulan lagi Abah akan mengenakan toga S2 nya.
Begitu seharusnya. Hanya saja Allah memiliki rencana yang lain. Saya sedang sibuk-sibuknya saat itu. Beberapa hal sangat harus saya pertanggungjawabkan. Demikian, saya tidak bisa pulang untuk menemui Abah.
Hari itu, Kamis 22 Mei 2014. Perasaan hati saya tidak karuan. Tiba-tiba ingin sekali rasanya untuk pulang ke kampung halaman. Sementara, beberapa hari mendatang masih menumpuk amanah yang harus saya selesaikan.
(Masa-masa ini ; adalah masa dimana saya menguatkan pengharapan pada seseorang yang saya percaya(i). Namun akhirnya, saya kalah)
Saya berupaya menemukan jalan di tengah keadaan yang mendesak. Menghubungi orang-orang tertentu. Tetapi hari itu, "Saya merasa manusia di bumi sepenuhnya sedang sibuk." Saya tidak akan bicara, atau mengganggu mereka.
Padahal sebelumnya, rasanya saya justru tengah bermesraan dengan banyak orang. Dikelilingi manusia yang tawanya lebar.
Kenyataannya, "Menangis bersama adalah perihal yang paling sulit untuk dilakukan."
Malamnya, selepas isya' saya langsung tidur. Dalam tidur itulah rasanya saya mendapat petunjuk tentang Abah. Pukul 22.00 WIB, saya bangun. Menyiapkan untuk keberangkatan besok. Saya memutuskan harus pulang. Melupakan semua agenda. Atau tanggung jawab.
(Saya hilang. Melupakan janji-janji. Bukan hanya satu atau dua orang: Banyak yang memilih untuk tidak lagi ada pada kehidupan saya, sejak saya memutuskan pulang hari itu. Salah satunya termasuk ini tentang apa yang telah saya bangun di dunia kepenulisan)
Sulit bagi saya menyampaikan bagaimana perasaan ketika ini.
Jum'at, 23 Mei 2014. 16.30 WIB . Saya sampai di kediaman orangtua. Rumah begitu ramai. Orang-orang berdatangan.
ππππ
Menghela napas panjang. "...kita harus bersedia menikmati puisi-puisi hidup setiap waktunya. Siap ataupun tidak."
Saya tidak bisa berbagi cerita lagi pada Abah. Beliau sudah tidak bisa melihat ataupun mendengarkan perkataan saya.
Tidak lama selepas isya', beliau benar-benar pergi.
(...)
Kurang lebih satu bulan lamanya saya berada pada keadaan paling jatuh. Semuanya berurutan hilang.
ππππ
Hatiku ketika itu ; benar-benar tidak berwajah.
Apa yang paling dipertahankan, justru berurutan meninggalkan ke rumah yang lain.
Rasanya menggigil setiap kali mengingat amanah yang tidak mampu seorang Aira jalankan. Ketika masih aktif menjadi konselor dalam kelompok-kelompok remaja yang aku bina, aku tidak pernah membayangkan dikemudian hari akan serapuh ini. Tentu, selagi aku mempunyai Penciptaku, aku akan selalu punya tempat untuk pulang. Setidaknya untuk melapangkan kembali percayaku.
Hanya saja, sejak perginya Abah~ rasanya hambar. Bukan sebab tidak menerima ketentuan-Nya, tapi disaat yang bersamaan perihal yang kupercaya(i) justru malah meninggalkanku. Aku tidak bisa menjelaskan keadaanku ketika itu, pulih yang bagaimana lagi? Di saat kehilangan, secara bersamaan apa-apa yang kuperjuangkan lebih memilih untuk menjatuhkanku. Tidak sampai disitu, berangsur beberapa tetua yang kucintai juga lebih dulu pulang. Tuhan mengambil lagi tempat berteduhku.
Aku berupaya menguatkan hati. Melaksanakan beberapa program baca tulis di daerah pinggiran. Setiap kali berangkat sendiri ke tempat mereka hingga terjatuh atau lebam berdarah sekalipun ketika pulangnya, sama sekali tidak mengurangi kecintaanku. Yang kutahu, senyum dari murid-murid yang menyambutku di perbatasan lebih mujarab mengobati rasa sakitku.
Setiap hari aku harus membagi waktu. Perihal ini sulit sekali aku jelaskan. Bahkan saat malam minggu, ketika yang lain rehat~aku justru baru pulang jam satu malam. Setelah menghabiskan waktu di pelosok. Mengajar.
Tetapi setelah semuanya memilih hilang begitu saja; Rasanya seperti dicambuk berkali-kali. Bagaimana lagi aku meletakkan kepercayaan?
π±π±π±
Beberapa bulan setelah itu, saya sadar: saya tidak boleh berada dalam keadaan terpuruk seterusnya. Saya harus bangkit."
Demikian, perihal penerbitan (Ar-Rahman PRESS~Penerbit Ar-Rahman); saya yang awalnya belum punya penerbitan sendiri, Allah perkenankan untuk ada.
"Demikian saya percaya, dibalik hilang dan pergi akan selalu ada kedatangan yang lebih indah."
ππππ
Dalam hidup, akan ada orang-orang yang memaksamu untuk terus berlari meski saat itu kakimu tengah luka parah. Pengertian bukanlah hal yang wajar lagi. Saat itulah kamu akan merasa seorang diri. Kakimu makin nyeri. Tubuhmu ditumpahi lelah yang amat sangat. Ada yang harus kamu perjuangkan. Tetapi tidak sedikit yang malah meninggalkan. Langkahmu terseok dalam keadaan yang payah. Hambar kenang; dirampas ingat.
Lalu, apa yang harus dilakukan?
"Sekuat tenaga, kita perlu bertahan. Masih bisa membuat senyum di sudut-sudut wajah. Tersenyum sajalah. Puisi kita kian manis. Besok, mungkin kita akan menyeduh puisi hari ini bersama anak-anak kita, bukan? Tawanya bisa jadi lebih lebar. Kemudian berujar, "Betapa kuatnya orangtuaku dulu." Matanya lebih mantap menatap semesta, karena dia telah mengenal rumah yang kamu diami sebelumnya. Ah, ini salah satu caraku menghibur diri. Punya banyak anak ; yang mata dan langkahnya tidak ringkih melihat bumi sampai langit (jika berbeda)."
"...seberapa kali pun jatuh, tetap pertahankan apa yang menjadi prinsip. Luka parah tidak ada apa-apanya, dibanding tubuh yang kosong~melompong, berjalan di bumi tanpa jati diri."
Apapun, jatuh? bangkit lagi.
Tidak usah takut ataupun khawatir, dengan izin-Nya semua akan mampu diselesaikan.
Semangat Menguat & semoga bermanfaat.
Ditulis oleh perempuan yang setiap harinya masih harus belajar terus untuk kembali kuat,
Siti Khumairah M. Nur
@sitikhumairahnur
Kak Siti Khumaira, adalah pendiri sekaligus pemilik dari penerbitan ar-Rahman press .
Kisah beliau tentu sangat menginspirasi bukan?.
Ayo Young Writer, buka bukumu, siapkan pena dan menulislah hingga namamu melanglang buana.
Komentar
Posting Komentar